Kamis, 07 Desember 2017

Industri Game Developer Indonesia. Cerah atau Suram?

Apakah industri game developer Indonesia masih cerah? Pertanyaan ini sering terlempar dari kalangan mahasiswa yang tertarik di industri ini dan juga developer yang sudah menjalaninya.
Banyak hal yang berubah cepat dari model bisnis yang membuat game developer Indonesia (termasuk studio saya, ArtLogic Games) yang sudah terlena seperti model bisnis licensing/sponsorship, dan deal-deal eksklusif porting game di platform tertentu dimana developer akan mendapatkan sejumlah upfront money menuju open market dimana developer dituntut menjual gamenya langsung ke player.   Apakah salah dengan model bisnis tersebut? Tidak sama sekali, tetapi hal tersebut akan menumpulkan esensi sesungguhnya sebuah game developer. Apakah itu? Kita mendesain game, merilis dan mendapatkan uang melalui pemain kita terlepas dari platform (mobile, PC, web) dan jenisnya (paid/freemium).
Coba tilik dan lihat sendiri berapa banyak game developer Indonesia yang berhasil menjual langsung game mereka ke pemain dan bisa dibilang sukses. Hanya beberapa gelintir, sebut saja seperti Digital Happiness dengan DreadOut, Toge Productions dengan Infectonator: Survivors dan Infectonator di mobile platform, Alegrium dengan Icon Pop Quiz, dan Menara Games dengan Ninja Fishing-nya. Mereka ini adalah contoh dari segelintir game developer Indonesia yang telah berhasil mendapatkan revenue dari player mereka langsung. Studio saya sendiri sangat terlena dengan zaman keemasan model licensing/sponsorship dengan IP Epic War 1-5 . Tetapi perlahan kami mampu beradaptasi dan menjual in-app purchase langsung ke player kami lewat game Epic War Legends dan Epic War Saga dimana hasilnya cukup lumayan untuk menopang kehidupan studio kami.
Disini saya mau mencoba mengajak semua teman-teman developer untuk lebih mempunyai mental yang kuat. Kita tidak perlu menunggu kebijakan pemerintahan yang pro-dev atau misalnya kita sangat tergantung dari pihak-pihak yang bisa menopang kita seperti Venture Capitalpartnership dan fundingFunding disini memang bukan model bisnis tetapi banyak dari kita menjadikan funding sebagai model bisnis, dimana ketika kita mendapatkan funding untuk membuat sebuah game, kita tidak terlalu memikirkan bagaimana game kita akan menghasilkan revenue sehingga partner kita tidak rugi dan bisa menutup biaya funding tersebut.
Be creative, jika kalian mengalami krisis cashflow di studio kalian, buka celah baru misalnya menerima kerjaan outsource, atau untuk sementara kita mencari alternatif pendanaan. Tidak menjadi masalah jika kita masih menjalani hal-hal tersebut, atau kita masih mengandalkan bisnis model licensing, funding dan lain-lain . Tetapi untuk long term 2-3 tahun, kita harus mempunyai gambaran. Dari developer yang sukses tadi, mereka mempunyai IP yang kuat untuk bisa menopang cashflow dan sanggup survivesampai saat ini.
Saya sendiri mempunyai impian untuk menelurkan IP selain Epic War. Memang sangat susah bagi studio untuk mengalami masa transisi dari model bisnis licensing, funding, event reward dan semacamnya, menjadi sekarang dituntut untuk menghasilkan sebuah produk yang langsung menyasar ke konsumen/pemain.  Akan tetapi saat krisis itu terlampaui, kita akan memiliki sebuah pengalaman dan skill yang lebih terasah.  Di saat yang tepat jika kesempatan emas datang kita akan memiliki semua yang dibutuhkan.
Indonesia sudah menjadi sasaran publisher-publisher mobile besar. Gamevil/Com2us sudah membuka kantor cabang di Indonesia dan saya menemukan halaman Facebook salah satu game mereka sudah dilokalisasi ke dalam bahasa Indonesia. Melihat ini, saya sendiri merasa ngeri sekaligus senang. Jangan sampai kita, game developer Indonesia hanya jago dalam membuat game kelas event/award atau game partnership/orderan. Fase menjadi game developer yang “disapih ” harus cepat dihilangkan dan kita bertransformasi menjadi game developer yang profesional dimana kita bisa melakukan analisa pasar, memproduksi game dan mendistribusikan game kita baik di pasar lokal maupun internasional.  Fondasi industri game developer di Indonesia seperti edukasi, profesional, dan komunitas sudah berjalan. Saya yakin jika kita bisa memanfaatkan semuanya itu dan menghasilkan produk yang mendunia, pemerintahan kita bakal “melek” dan memberikan dukungan.



                                                                        Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tugas Softskill Ke 4 : Pengantar Komputasi Modern

TUGAS PENGANTAR KOMPUTASI MODERN “RANGKUMAN TENTANG BIOINFORMATIKA” Nama                            : Abiyoso Wahyu Rahardjo Putro...