KOMPAS.com - Untuk ukuran orang Indonesia, apalagi anak muda, cara bicara Andika Wira (20) dalam bahasa Inggris memang masuk kategori cas cis cus alias benar-benar punya gaya bicara yang fluent.
Takjub melihatnya bicara di Youtube, apalagi berbincang langsung dengan bertatap muka. Bukan mustahil, orang akan mengira anak muda yang akrab dipanggil Dika ini lulusan lembaga bimbingan Bahasa Inggris terkemuka atau pernah sekolah ke luar negeri.
Nyatanya tidak, dan itulah yang bikin takjub. Dika tidak memperoleh skil berbahasa Inggris fasih dari kedua cara itu.
Semua kemampuannya dia dapatkan hanya dari hobinya bermain game online. Lagi-lagi, ia juga secara otodidak mempelajari aksen British melalui film-film Harry Potter yang ditontonnya berulang-ulang.
Kemahiran otodidak itu berbuah manis buat Dika. Setelah video listening section-nya mendadak viral, akun Instagram miliknya juga diserbu followers, setidaknya mencapai 360 ribu lebih pengikut.
Kini, dari cuma "orang biasa", Dika beralih menjadi social media influencer yang memberikan konten edukasi bidang Bahasa Inggris. Social media influencer?Ini adalah satu dari beberapa jenis pekerjaan zaman now yang mulai banyak digeluti anak muda generasi milenial seusia Dika.
Apakah cuma Dika seorang yang seperti itu? Memanfaatkan internet, Youtube, Instagram, dan sebagainya untuk menggali informasi, melepaskan dahaga akan hobi, menyalurkan ekspresi diri yang positif atau lebih tepat disebut potensi diri?
Jawabnya, tentu saja tidak. Seandainya dibuka sayembara berhadiah di media online nasional atau media sosial, siapa saja anak-anak muda usia SD sampai SMA yang sudah berbuat serupa seperti Dika, dijamin dalam sehari pengumuman berhadiah macam itu langsung diserbu.
Bukan mustahil akan ada ribuan anak muda yang mengakses pengumuman itu. Boleh jadi, bakal terjadi crash lantaran saking banyak, menumpuk, dan berebutnya orang mengakses alamat sayembara online itu.
Ilustrasi coding.
Pendampingan
Banyak cara sudah dilakukan anak-anak muda untuk menyebarkan konten positif di internet. Belakangan mereka melakukannya melalui video blog (Vlog) yang sedang naik daun, lalu mengunggahnya diYouTube.
Sebaliknya, tak cuma sekadar narsis, kanal Youtube juga sudah jadi saluran informasi mencari tutorial untuk merancang sebuah karya. Mulai kelas ecek-ecek hingga karya yang sudah bisa menghasilkan jutaan rupiah dihasilkan orang berkat bantuan kanal ini.
Selepas menonton Star Wars: The Las Jedi, seorang anak usia sekolah dasar kelas 5 atau 6 misalnya, bisa langsung membuka halaman Youtube di rumahnya. Tanpa perlu bertanya kepada kedua orang tuanya, si anak bisa sendiri mencari cara membuat Lightsaber atau pedang bersinar yang merupakan senjata utama di film fiksi tersebut.
Contoh semacam itu kini semakin lumrah terjadi, tentu saja. Mereka, anak-anak itu, bisa bertindak lebih cepat daripada yang dipikirkan orang dewasa atau orang tuanya sendiri untuk mencari informasi.
Youtube hanya satu contoh, sebab masih banyak kanal informasi lain bisa didapatkan anak-anak itu dari internet. Gawai yang mengantarkan mereka membuka kanal informasi lain di internet pun makin hari semakin canggih. Tak ada yang bisa mencegah, kemajuan gawai terus mengalir dan laku keras.
Ada yang bisa menahan anak-anak itu? Ada yang sanggup menahan laju kemajuan itu?
Tidak ada. Yang bisa dilakukan adalah mengimbanginya, mendampingi dan mengarahkan mereka. Karena, tak semua yang hadir di internet lewat gawai-gawai itu adalah putih.
Sejatinya, larangan sekolah agar anak didik tidak membawa gawai pintar (smartphone) pun belum maksimal menahan laju anak untuk menyelami internet lebih dalam lagi.
Tak cukup pula waktu orang tua di rumah mengawasi mereka setiap menit, jam atau hari. Karena, ini memang zaman now, eranya anak-anak milenial yang mau tak mau dikelilingi gawai canggih dan internet setiap waktu.
Akhirnya, cuma masalah waktu saja sekolah itu sendirilah yang harus menjadi gerbang utama untuk mendampingi dan mengarahkan anak didik menyelami dunianya yang makin canggih berkat gawai dan internet.
Mau sampai kapan sekolah hanya berkutat pada kurikulum yang terpapar di buku-buku cetak, sementara anak didik berpikir dan berselancar lebih cepat di dunia maya? Akankah sekolah sudi menjadikan coding sebagai salah satu ekstrakulikuler misalnya, karena di satu sisi banyak anak-anak tak sabar bisa punya waktu sendiri dan "dilegalkan" untuk mengutak-atik bahasa pemograman ketimbang hanya duduk di perpustakaan?
Haruskah orang tua cuma duduk berpangku tangan, sementara anak-anak mereka yang masih duduk di bangku SD pun memilih tak lagi banyak bertanya kepada mereka soal pekerjaan rumah sains atau Matematika melainkan kepada Youtube dan Google?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar