Aspek Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta di Indonesia
Hak Cipta adalah hak yang melindungi hasil olah pikir manusia berupa ekspresi yang dituangkan dalam karya nyata atas sebuah atau beberapa ide. Ide yang tidak dijadikan sebuah karya nyata tidak ada Hak Ciptanya. Bagaimana aspek hukum mengenai hak cipta di Indonesia? Hak Cipta adalah hak yang melindungi hasil olah pikir manusia berupa ekspresi yang dituangkan dalam karya nyata atas sebuah atau beberapa ide. Ide yang tidak dijadikan sebuah karya nyata tidak ada Hak Ciptanya. Di Indonesia perlindungan Hak Cipta diatur dalam Undang-undang RI No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai berlaku 12 (dua belas) bulan sejak diundangkan pada tanggal 29 Juli 2002. Perlindungan Hak Cipta di Indonesia telah dimulai dari zaman Hindia Belanda dengan berlakunya Auteurswet 1912 Stbl. 600/1912. Sejalan dengan berlakunya Undang-undang Dasar tahun 1945, keberlakuan Auteurswet 1912 tetap dipertahankan hingga terbitnya Undang-undang No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta yang terus diubah hingga kini berlaku Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang berlaku sekarang. Terkait dengan pelaksanaan perlindungan Hak Cipta secara internasional dikenal Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Artistik dan Sastra (Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works) yang dimulai sejak tahun 1886 dimana pada tahun 1931 ketika masih di bawah nama Hindia Belanda, Indonesia (Hindia Belanda) menjadi salah satu anggota yang mereservasi Konvensi tersebut melalui Roma Act. Salah satu peristiwa penting terjadi pada tanggal 19 Februari 1959 di bawah pemerintahan PM Djuanda, dimana Indonesia pernah keluar dari Konvensi tersebut untuk memfasilitasi para intelektual Indonesia untuk dapat mengalihbahasakan ciptaan dan literatur asing untuk dapat dipergunakan memajukan pendidikan bangsa tanpa harus membayar royalti kepada Pencipta atau Pemegang Hak Ciptanya. Sekarang ini Indonesia telah secara resmi meratifikasi beberapa konvensi internasional di bidang Hak Cipta seperti Berne Convention dengan Keputusan Presiden RI No. 18 Tahun 1997 serta WIPO Copyright Treaty dengan Keputusan Presiden RI No. 19 Tahun 1997. Pasal 1 angka (1) Undang-undang Hak Cipta menggariskan Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya, yang timbul secara otomatis (deklaratif) setelah suatu Ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak Eksklusif mengandung Hak Ekonomi, yakni hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan atau produk Hak Terkait dan Hak Moral, yakni hak Pencipta untuk tetap mendapatkan pengakuan atas kepemilikan Ciptaan tersebut. Secara umum perlindungan Hak Cipta diberikan kepada setiap karya asli yang diciptakan seseorang atau lebih Pencipta atau diberikan kepada Pemegang Hak Cipta di bidang Ilmu Pengetahuan, Seni, Sastra dan Hak Terkait (Related Rights) bagi pelaku, produser rekaman suara dan lembaga penyiaran. Di samping itu, Negara berdasarkan Pasal 10 Undang-undang Hak Cipta adalah pemegang Hak Cipta atas beberapa Ciptaan berupa karya peninggalan prasejarah, sejarah, benda budaya nasional, folklore, hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi serta karya seni lainnya. Umumnya perlindungan Hak Cipta diberikan seumur hidup Penciptanya dan masih berlaku hingga 50 (lima puluh) tahun sejak Pencipta (terakhir) meninggal dunia yang mulai dihitung pada tanggal 1 Januari tahun berikutnya sejak Pencipta (terakhir) meninggal dunia. Ada beberapa pengecualian jangka waktu perlindungan Hak Cipta menurut ketentuan Undang-undang Hak Cipta, seperti:
- Hak Cipta atas folklore, hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi serta karya seni lainnya yang dipegang oleh Negara berlaku tanpa batas waktu.
- Hak Cipta atas Program Komputer, sinematografi, fotografi, database, perwajahan karya tulis hasil pengalihwujudan yang berlaku 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan atau diterbitkan.
- Hak Cipta atas Potret seseorang yang berlaku hingga 10 (sepuluh) tahun sejak orang yang dipotret meninggal dunia.
- Hak Terkait bagi pelaku berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali dipertunjukkan atau dimasukkan ke dalam media audio atau audiovisual.
- Hak Terkait bagi Produser Rekaman Suara berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut selesai direkam.
- Hak Terkait bagi Lembaga Penyiaran berlaku selama 20 (dua puluh) tahun sejak siaran tersebut pertama kali disiarkan.
- Hak Moral berlaku tanpa batas waktu.
Terhadap terjadinya pelanggaran di bidang Hak Cipta berupa:
- Gugatan ganti kerugian secara perdata yang diajukan Pencipta atau Ahli Warisnya dalam hal-hal, sebagai berikut:
- Peniadaan atau penghapusan nama Pencipta yang tercantum dalam Ciptaan;
- Pengakuan atas suatu Ciptaan oleh pihak ketiga;
- Penggantian atau pengubahan Judul Ciptaan; dan/atau
- Pengubahan isi Ciptaan.
- Bersamaan dengan diajukannya Gugatan, Pencipta atau Ahli Warisnya juga berhak meminta Penetapan Sementara kepada Pengadilan Negeri untuk menyita, menyerahkan atau menghentikan pengumuman atau perbanyakan Ciptaan yang dilanggar tersebut guna mencegah berlanjutnya pelanggaran Hak Cipta, menyimpan dan mengamankan alat bukti serta meminta kepada pihak yang melanggar untuk menyerahkan alat bukti terkait.
- Selain diajukan Gugatan, secara terpisah, Negara, sebagai delik biasa dapat menindak, atau Pencipta atau Ahli Warisnya dapat melaporkan dugaan pelanggaran Tindak Pidana Hak Cipta kepada pihak yang berwenang, yakni Kepolisian RI dan Ditjen HKI. Ancaman hukuman terhadap pelanggar Hak Cipta minimal pidana penjara 1 (satu) bulan dan maksimal 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar Rupiah) apabila terbukti melakukan pelanggaran berupa pengumuman dan/atau perbanyakan Ciptaan tanpa izin Pencipta atau Ahli Warisnya.
ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN DATA PRIVASi
Pada era informasi digital saat ini informasi telah dijadikan sebagai komoditas bisnis yang memiliki economic value bagi orang-orang yang menguasai informasi. Istilah asymmetric information dalam prinsip ekonomi menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki informasi yang lebih maka dia akan memutuskan sesuatu dengan lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak atau kurang memiliki informasi. Jika 20 tahun yang lalu hukum ekonomi hanya menjangkau pengaturan sumber daya alam dan pasar maka di era digital saat ini seyogyanya dapat move forward sehingga mampu mengatur tentang informasi agar pemanfaatannya tidak dilakukan secara melawan hukum.
Data privasi secara terminology dapat dijelaskan: sebuah informasi yang terekam (cetak/non cetak) atas ijin si pemilik data yang bersangkutan. Pemberian data dari pemiliknya dapat mencakup: identitas data diri, data kesehatan, data pendidikan (formal/nonformal), data keuangan dan sebagainya. Cara pengambilan data-data tersebut di atas berbagai macam bentuknya, seperti mengikuti undian berhadiah, membuka rekening pada bank atau bentuk-bentuk lainnya.
Data pribadi merupakan komponen dari data privasi, dimana dalam privasi adalah hak seseorang untuk menutup atau merahasiakan hal-hal yang sifatnya pribadi (dalam hal ini informasi pribadi). Permasalahan yang kerap terjadi dalam hal data privasi di Indonesia adalah sejauh mana kewajiban pengambil data melindungi data-data orang lain yang diambilnya itu? Apakah ada kewajiban untuk menjaganya? Jika data pribadi orang lain itu dihapuskan, apakah ada mekanismenya sehingga tidak terjadi kegagalan dalam proses eliminasi data tersebut.
Fenomena yang umum terjadi saat ini dalam hal proteksi data privasi adalah telepon atau marketing tentang penawaran sesuatu yang terkadang aktivitasnya sangat mengganggu. Misalnya dilakukan pada saat tengah malam atau penawarannya terus-menerus dilakukan bak sebuah teror. Celakanya lagi, penelpon terkadang memiliki informasi yang lengkap tentang calon konsumen yang ditawarkannya itu.
Dalam praktiknya, proses pengambilan data yang dilakukan telah dirancang sedemikian rupa agar si pemberi data memberikan datanya pada suatu pihak. Akan tetapi efek samping dari pengambilan data itu adalah data pribadi yang terkumpul terkadang diperjualbelikan ke pihak lain untuk memasarkan suatu produk tertentu. Aktivitas transaksi jual beli data tanpa seijin orang yang diambil datanya memang seharusnya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Akan tetapi saat ini belum ada aturan yang mengaturnya secara jelas. Hal ini merupakan salah satu tantangan hukum yang perlu dijawab mengingat objek transaksi ekonomi di era digital saat ini tidak lagi terbatas pada ‘barang dan jasa’ semata tetapi meluas kepada ‘data dan informasi’.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar