PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Masalah kemiskinan merupakan
isu sentral di Tanah Air, terutama setelah Indonesia dilanda krisis
multidimensional yang memuncak pada periode 1997-1999. Setelah dalam kurun
waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1 persen
menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan tajam,
terutama selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan BPS, UNDP dan UNSFIR
menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada periode 1996-1998, meningkat
dengan tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau
bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa (BPS, 1999).
Sementara itu, menurut INDEF
tahun 2009 yang memproyeksikan jumlah penduduk miskin mencapai 40 juta (16,8%)
sedangkan data BPS pada Maret 2008 menyatakan bahwa penduduk miskin sebanyak 35
juta jiwa (15,4%)
Dari data Badan Pusat
Statistik (BPS) terbaru tahun 2006, mencapai 60 juta jiwa dari total penduduk
atau sekitar 25 persen. Dengan asumsi pendapatan perbulan hanya RP 150 ribu
perbulan. Padahal standar Bank Dunia orang miskin memiliki pendapatan US$2
perkapita per hari. Maka jika standar ini digunakan maka jumlah keluarga miskin
di Indonesia lebih fantastik lagi. Kemiskinan sebuah kondisi kekurangan yang
dialami seseorang atau suatu keluarga. Kemiskinan telah menjadi masalah yang
kronis karena berkaitan dengan kesenjangan dan pengangguran. Walaupun
kemiskinan dapat dikategorikan sebagai persoalan klasik, tetapi sampai saat ini
belum ditemukan strategi yang tepat untuk menanggulangi masalah kemiskinan,
sementara jumlah penduduk miskin tiap tahunnya meningkat.
Walaupun kemiskinan dapat
dikategorikan sebagai persoalan klasik, tetapi sampai saat ini belum ditemukan
strategi yang tepat untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan merumuskan
kebijakan anti kemiskinan, sementara jumlah penduduk miskin tiap tahunnya
meningkat. Ketidakberhasilan itu kiranya bersumber dari cara pemahaman dan
penanggulangan kemiskinan yang selalu diartikan sebagai sebuah kondisi ekonomi
semata-mata.
Mengatasi kemiskinan pada
hakekatnya merupakan upaya memberdayakan orang miskin untuk dapat mandiri, baik
dalam pengertian ekonomi, budaya dan politik. Penanggulangan kemiskinan tidak
hanya dengan pemberdayaan ekonomi, akan tetapi juga dengan pemberdayaan politik
bagi lapisan miskin merupakan sesuatu yang tidak dapat terelakkan kalau
pemerataan ekonomi dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan
sosial seperti yang dikehendaki.
Permasalahan
Makalah ini akan membahas tentang masalah-masalah :
Kemiskinan Di Indonesia
Definisi Kemiskinan
Penyebab Terjadinya Kemiskinan
Identifikasi Pelayanan Pekerjaan Sosial yang berhubungan
dengan kemiskinan
Identifikasi Potensi dan Sistem Sumber di Indonesia Pemecahan
Kemiskinan Melalui Pendekatan-Pendekatan Pemecahan Masalah
Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui
pengetahuan mengenai masalah-masalah kemiskinan dan memberi informasi tentang
kemiskinan, selain itu makalah ini juga digunakan sebagai salah satu syarat
memperoleh nilai pada mata kuliah Analisis Masalah Sosial.
PEMBAHASAN
1
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, identifikasi masalahnya
sebagai berikut:
Tingkat Kemiskinan Di Indonesia cukup tinggi yakni 25%
dari jumlah penduduk Indonesia
Pemecahan
masalah Kemiskinan bukan hanya melalui pendekatan ekonomi saja.
2
Definisi Masalah
Kemiskinan
memiliki defenisi berbeda bergantung pada cara pandang dan indikatornya. Secara
tradisional kemiskinan sering dipandang sebagai ketidakmampuan orang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar. Kemiskinan merupakan konsep
yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional. Ellis (1984:242-245), misalnya,
menunjukkan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan
sosial-psikologis.
Secara
ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan
sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek
finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka
kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya
yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis
kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode
pengukuran kemiskinan absolut. Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar
2,100 kalori per orang per hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu
atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari
adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut.
Secara
politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power).
Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat
menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan
sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang bekaitan dengan akses terhadap
kekuasaan ini, yaitu
(a) bagaimana orang dapat
memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat,
(b) bagaimana orang dapat
turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang
tersedia, dan (c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
Kemiskinan
secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial
yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan
produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan
yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau
merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di
masyarakat.
Faktor-faktor
penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor
internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya
pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori “kemiskinan budaya” (cultural
poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan
dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh
orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki
etos kerja dsb.
Faktor
eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi
atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam
memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan
kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan
dikarenakan “ketidakmauan” si misikin untuk bekerja (malas), melainkan karena
“ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menydiakan
kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Konsepsi
kemiskinan yang bersifat multidimensional ini kiranya lebih tepat jika
digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan
kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia.
Sebagaimana
akan dikemukakan pada pembahasan berikutnya, konsepsi kemiskinan ini juga
sangat dekat dengan perspektif pekerjaan sosial yang memfokuskan pada konsep
keberfungsian sosial dan senantiasa melihat manusia dalam konteks lingkungan
dan situasi sosialnya. (Edi Suharto, 2004).
Menurut
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementrian Sosial (2004), kemiskinan adalah
ketidakmampuan induvidu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup
secara layak dan mencapai kesejahteraan sosial. Sedangkan menurut pengertian
lain, Kemiskinan (poverty) adalah suatu kondisi yang ditandai oleh berbagai
keterbatasan yang mengakibatkan rendahnya kualitas kehidupan seseorang/keluarga
seperti rendahnya penghasilan, keterbatasan kepemilikan rumah tinggal yang
layak huni, pendidikan dan keterampilan yang rendah, serta hubunyan sosial dan
akses informasi yang terbatas (Pola Pembangunan Kesejahteraan Sosial,
2003:145).
Dengan
mengacu pendapat di atas, maka di peroleh pengertian bahwa, kemiskinan
merupakan kondisi individu, keluarga ataupun kelompok masyarakat yang mengalami
hambatan dalam pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar yang lain,
sehingga kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan sosialnya rendah.
3
Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor.
Jarang ditemukan kemiskinan yang hanya disebakan oleh faktor tunggal. Menurut
Suharto, (2009:17-18), secara konsep, kemiskinan bisa diakibatkan oleh empat
faktor, yaitu :
1. Faktor individual.
Terkait dengan aspek patologis, termasuk kondisi fisik dan psikologis si miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupannya.
2. Faktor sosial.
Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin. Misalnya, diskriminasi berdasarkan usia, jender, etnis yang menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini adalah kondisi sosial dan ekonomi keluarga si miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar generasi.
3. Faktor kultural.
Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjuk pada konsep “kemiskinan kultural” atau “budaya kemiskinan” yang menggabungkan kemiskinan dengan kebiasaan hidup atau mentalitas. Sikap-sikap “negatif seperti malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa wirausaha, dan kurang menghirmati etos kerja, misalnya sering ditemukan pada orang miskin.
4. Faktor struktural.
Menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompo orang menjadi miskin. Sebagai contoh, sisten ekonomi neoliberalisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan pekerja sektor informal terjerat oleh, dan sulit keluar dari kemiskinan. Sebaliknya. Stimulus ekonomi, pajak dan ilklim investasi lebih menhuntungkan orang kaya dan pemodal asing untuk terus menumpuk kekayaan
1. Faktor individual.
Terkait dengan aspek patologis, termasuk kondisi fisik dan psikologis si miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupannya.
2. Faktor sosial.
Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin. Misalnya, diskriminasi berdasarkan usia, jender, etnis yang menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini adalah kondisi sosial dan ekonomi keluarga si miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar generasi.
3. Faktor kultural.
Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjuk pada konsep “kemiskinan kultural” atau “budaya kemiskinan” yang menggabungkan kemiskinan dengan kebiasaan hidup atau mentalitas. Sikap-sikap “negatif seperti malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa wirausaha, dan kurang menghirmati etos kerja, misalnya sering ditemukan pada orang miskin.
4. Faktor struktural.
Menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompo orang menjadi miskin. Sebagai contoh, sisten ekonomi neoliberalisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan pekerja sektor informal terjerat oleh, dan sulit keluar dari kemiskinan. Sebaliknya. Stimulus ekonomi, pajak dan ilklim investasi lebih menhuntungkan orang kaya dan pemodal asing untuk terus menumpuk kekayaan
4
Identifikasi Pelayanan Peksos yang berhubungan dengan masalah
Secara
konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan
persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan
individual-struktural. Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan
yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
1.
Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan
sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan dibawah
garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta
tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
2.
Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis
kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar
(misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar
atau tidak buta hurup,).
3.
Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan
bebas dari kemesikinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik
ketimbang kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang
sering disebut “near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai
perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status
“rentan” menjadi “miskin” dan bahhkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi
dan tidak mendapat pertolongan sosial.
Secara
tegas, memang sulit mengkategorikan bahwa sasaran garapan pekerjaan sosial
adalah salah satu kelompok dari ketiga kelompok di atas. Pekerjaan sosial
melihat bahwa kelompok sasaran dalam menangani kemiskinan harus mencakup tiga
kelompok miskin secara simultan. Dalam kaitan ini, maka seringkali orang
mengklasifikasikan kemiskinan berdasarkan “status” atau “profil” yang melekat
padanya yang kemudian disebut Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Gelandangan,
pengemis, anak jalanan, suku terasing, jompo terlantar, penyandang cacat
(tubuh, mental, sosial) dll adalah beberapa contoh PMKS yang sering diidentikan
dengan sasaran pekerjaan sosial di Indonesia. Belum ada hasil penelitian yang
komprehensif apakah mereka ini tergolong pada kelompok destitute, poor atau
vulnerable. Namun dapat diasumsikan bahwa proporsi jumlah PMKS diantara ketiga
kategori tersebut membentuk piramida kemiskinan.
Sesuai
dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan
pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam
menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas
kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka
intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin)
tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip ini
dikenal dengan pendekatan “person-in-environment dan
person-in-situation”.
Pada
pendekatan pertama, pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan
sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana
si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer
group), maupun masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan
(institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk
PROKESOS yang telah dan sedang dikembangkan oleh Depsos dapat disederhanakan
menjadi:
1.
Pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh
panti-panti sosial.
2.
Program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
Pendekatan
kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan
sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism
yang melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan
unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan
kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapinya.
Penanganan
kemiskinan dapat dikategorikan kedalam beberapa strategi:
1.
Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi
korban bencana alam.
2.
Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulan untuk
usaha-usaha ekonomis produktif.
3.
Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan
keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak
dan remaja.
4.
Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline
Moser disebut sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi program-program
yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu
aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada
aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, program KUBE atau Kelompok
Usaha Bersama.
2.5
Identifikasi Potensi dan Sistem Sumber
Potensi
adalah manusia, alam, dan institusi social yang belum dikembangkan namun dapat
digunakan untuk usaha dalam menangani kemiskinan di Indonesia.
Banyak
potensi yang dimiliki Indonesia, baik potensi alam ataupun potensi manusia
dalam menangani masalah kemiskinan. Kekayaan alam misalnya saja dapat membuat
lapangan kerja baru, merekrut tenaga kerja, dan akhirnya dapat mengurangi
tingkat kemiskinan. Potensi-potensi manusia juga bisa diberdayakan, Misalnya,
program pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi
sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
Sumber-sumber
penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana si miskin
tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer group), maupun
masyarakat. Dukungan lingkungan, institusi, dan keluarga agar keluar dari
kemiskinan sangat berpengaruh.
2.6
Pemecahan Masalah Melalui Pendekatan-Pendekatan Pemecahan Masalah
A. Melalui pendekatan agama
Kegiatan
untuk membantu keluarga yang miskin telah dilakukan oleh masyarakat yang secara
ekonomi mampu, baik secara pribadi maupun kelompok. Mengenai kegiatan pemberian
bantuan secara atau bersifat pribadi biasanya merek alakukan pada ssaat
tertentu dan bagi yang beragama islam dalam bentuk sedekah ataupun pada saat
menjelang hari raya idul firti berupa zakat fitrah, ataupun zakat mal, sesuai
ketentuan agama islam. Sementara kegiatan pemberian bantuan kepada keluarga
miskin dilaksanakan oleh umat yng beragama katholik ataupun Kristen disebut
tabungan cinta kasih (Tacika)yang biasanya diberikan pada saat menjelang hari
natal dan hari paskah.
B.
Melalui pendekatan Jurnalistik
Dengan
pendekatan jurnalistik dimaksudkan sebagai usaha penyebarluasan informasi yang
berkaitan dengan masalah sosial melalui tulisan-tulisan di media cetak. Melalui
pendekatan ini masalah sosial diusahakan untuk dikenalkan pada masyarakat baik
dalam arti masalah sosial itu sendiri maupun sebab-akibat serta cara-cara
menghadapinya. Artikel-artikel di media baca, maupun media internet mengenai
kemiskinan yang terjadi di Indonesia dapat membuat masyarakat lebih peka. Juga
bisa sebagai media pengajak masyarakat dan organisasi untuk berpartisipasi
memutus rantai kemiskinan di Indonesia.
C.
Melalui Pendekatan Seni
Pendekatan
seni adalah suatu upaya yang dilakukan para seniman (seni drama, musik, tari,
lukis, sastra dsb) untuk membangun simpati kemanusiaan sehubungan dengan
sistuasi sosial yang bermasalah. Dalam adat Jawa biasanya dalam membantu
orang-orang miskin, orang-orang kaya mengundang mereka dalam acara kesenian
yang biasanya dimainkan oleh orang-orang miskin tersebut. Pengundangan ini
bukan hanya sebagai pentas kesenian namun tujuan untuk membantu mereka mendapat
penghasilan.Melalui Pentas drama theater yang menggambarkan situasi sosial
masyarakat miskin.
D.
Melalui Pendekatan Interdisipliner
Pemecahan
melalui aspek ekonomi ; Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan
menyediakan lingkungan yang mampu mendorong pengembangan umkm secara sistemik,
mandiri dan berkelanjutan. Menciptakan lapangan kerja yang mampu menyerap
lapangan kerja sehingga mengurangi masalah pengangguran. Karena pengangguran
merupakan masalah terbesar di Indonesia.
Pemecahan
aspek social ; digalakkannya pembangunan didaerah sehingga ineraksi social
bisa lebih meningkat dengan adanya pembangunan dan teknologi yang mendukung.
Pemecahan
aspek struktural ; menghapuskan korupsi, sebab korupsi adalah salah satu
penyebab layanan masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga
masyarakat tidak bisa menikmati hak nya.
Pemecahan
aspek psikolgi ; menanamkan rasa percaya diri dan mengembangkan
kreatifitas didalam lingkungan social, dan memberikan pelayanan social kepada
masyarakat.
Pemecahan
aspek pendidikan ; memberikan informasi-informasi bahwa pendidikan sangat
penting didalam kehidupan social, apalagi sudah diterapkannya wajib belajar
9tahun dengan bebas biaya.
Pemecahan
aspek teologi ; menggalakkan program zakat, didalam ajaran islam zakat
diperkenalkan sebagai media untuk menumbuhkan pemerataan kesejahteraan diantara
masyarakat dan mengurangi kesenjangan kaya dan miskin.
Pemecahan
aspek kebudayaan ; mengikuti berbagai pelatihan kursus sebagai
pengembangan diri agar mempunyai kemampuan dan keahlian.
PENUTUP
Kesimpulan,
Masalah
kemiskinan merupakan permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia dan
merupakan masalah yang kompleks, sehingga membutuhkan keterlibatan berbagai
pihak dalam penanganannya. Masalah ini dari dahulu sampai sekarang tetap
menjadi isu sentral di Indonesia.
Pekerjaan
sosial merupakan profesi utama dalam bidang kesejahteraan sosial juga mempunyai
tanggung jawab dalam penanganan permasalahan kemiskinan tersebut. Dalam
penanganan masalah kemiskinan profesi pekerjaan sosial berfokus pada
peningkatan keberfungsian sosial si miskin. Sebagaimana halnya profesi
kedokteran berkaitan dengan konsepsi kesehatan, psikolog dengan konsepsi
perilaku adekwat, guru dengan konsepsi pendidikan, dan pengacara dengan
konsepsi keadilan, maka keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting
bagi pekerjaan social.
Pemecahan
masalah Kemiskinan Di Indonesia juga dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan. Diantaranya melalui pendekatan Agama, Kesenian, Jurnalistik, dan
Interdisipliner.
DAFTAR
PUSTAKA
Warto,
2011. Kearifan Lokal Masyarakat dalam Upaya Penanganan Kemiskinan. B2P3KSPRESS,
Yogyakarta
Roebyantho,Haryati
dkk, 2004. Faktor-Faktor Penghambat Perkembangan Potensi Sosial Masyarakat
Lokal di Daerah Miskin. Perpustakaan Nasional Katalog Dalam terbitan, Jakarta.
Suharto,
Edi. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat; Kajian Strategis Pembangunan
Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial. Refika Aditama, Bandung.
Edi
Suharto,2004, kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia dalam edisi
Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Di Bidang Kesehatan, Alfabeta, Bandung.
https://www.academia.edu/15568732/Makalah_Kemiskinan_Sebagai_Masalah_Sosial